Sebagai pilar dan ujung tombak pendidikan, guru tidak hanya di tuntut untuk mengajarkan materi pelajaran. Namun ada beberapa tugas lain yang juga harus dilaksanakan dalam waktu bersamaan. Bekerja sesuai dengan tuntutan dan regulasi resmi dari lembaga pendidikan dan instansi tempat ia ditugaskan baik negeri maupun swasta sama-sama memiliki struktur organisasi resmi seperti Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, dan terus ke bawah.
Bagi sebagian pandangan, menjadi Kepala Sekolah (Kepsek) adalah puncak karier seorang guru yang telah dirintisnya belasan bahkan puluhan tahun. Hal ini dianggap sebagai promosi jabatan impian dan kebanggaan profesi guru. Naik posisi dan ganti jabatan yang lebih bergengsi dan bisa menjadi orang yang disegani baik di lingkungan sekolah itu sendiri maupun di masyarakat.
Namun di sisi lain, dewasa ini, kenyataan di lapangan seringkali menggelikan sekaligus miris. Ketika kesempatan menjadi kepala sekolah dibuka, bukannya rebutan, justru banyak guru bahkan yang paling pintar sekalipun, malah memilih mundur secara teratur, artinya pada saat ada promosi dan tawaran mereka ogah mengambil kesempatan dan memilih posisi yang sedang dilaksanakan saat ini. Walaupun ada juga sebagian besar yang bersiap dan mempersiapkan diri untuk menerima dan mengambil posisi sebagai kepala sekolah.
Pertanyaan yang menggelitik adalah, Mengapa hari ini kursi panas kepala sekolah begitu kurang diminati oleh sebagian guru ?, Padahal guru tersebut layak dan memenuhi syarat jika ikut dalam pemilihan kepala sekolah. Tidak seperti dulu dimana guru rebutan memantaskan diri menjadi yang terbaik untuk menjadi kepala sekolah. Bahkan terkadang rela merogoh kocek agar bisa mendapatkan jabatan kepala sekolah.
Setidaknya ada beberapa alasan sebagian guru enggan menduduki kursi kepala sekolah :
Gaji Naik Selembar, Beban Naik Sekapal Pesiar.
Mari kita bicara tentang realita paling jujur yaitu uang. Sebagai manusia normal, siapa yang tidak butuh uang ?, jawabannya tentu tidak ada. Semua orang pasti membutuhkan biaya agar keberlangsungan kehidupan sehari-hari tercukupi, syukur-syukur jika ada lebihnya bisa untuk simpanan, investasi dan tabungan lainnya.
Di zaman sekarang semua orang sudah realistis, tidak perlu basa-basi. Para guru tentu mengetahui bahwa menjadi kepala sekolah tidak secara otomatis membuat rekening meningkat, walaupun memang ada tunjangan jabatan, Tapi Kenaikan tunjangan yang didapat tidak sebanding dengan lonjakan tanggung jawabnya sebagai pimpinan tertinggi di lembaga pendidikan.
Seorang guru pegawai negeri sipil (PNS) tetap menerima gaji pokok dan tunjangan fungsionalnya. Ketika menjadi kepala sekolah, kenaikannya mungkin hanya dari secuil tunjangan tambahan atau tunjangan struktural yang nilainya jauh dari kata mewah. Kenaikan gaji itu tidak akan pernah bisa membayar kerugian waktu istirahat, waktu bersama keluarga, sakit kepala akibat berhadapan dengan birokrasi, atau biaya mental lainnya.
Jika jabatan kepala sekolah hanya menaikkan kesejahteraan setipis tisu, sementara beban kerjanya naik setebal tumpukan modul ajar atau perangkat pembelajaran, maka rasionalitas guru akan berkata: “Lebih baik tenang mengajar di kelas.”
Guru pedagang eceran, kepala sekolah manajer toko grosir.
Seorang guru sejati, jiwanya adalah tentang pedagogi seni mengajar. Menikmati interaksi dengan para siswa dalam proses belajar mengajar maupun di luar kelas. Menikmati momen indah ketika siswa paham materi yang dijelaskan.
Saat menjadi kepala sekolah, tentunya waktu habis untuk urusan birokrasi dan administrasi yang luar biasa sibuknya, bendahara, negosiator komite, event organizer acara perpisahan maupun acara lainnya, hingga tukang damai (mediator) saat ada masalah.
Ada perasaan bakat dan passion mengajar terabaikan di balik meja kepala sekolah.
Hal ini menjadi pergeseran fokus dari mengajar di kelas kepada urusan administrasi yang ribut dan ribet dengan stempel, tanda tangan, map dan lainnya. Banyak guru enggan mengerjakan administrasi hitam diatas putih, dinas luar, kunjungan ke sekolah lain, acara resmi di dalam dan diluar provinsi, jika ia harus mengorbankan status sebagai pendidik anak bangsa.
Dari idola kelas menjadi musuh publik.
Sebagai guru, ia dihargai, dicintai atau setidaknya dihormati oleh para siswa atau oleh rekan sejawat. Saat Menjadi Guru biasa, ia menjadi kolega yang bisa diajak ngobrol santai, tertawa bersama, senda gurau guna menghilangkan kejenuhan. Nah, begitu diangkat menjadi kepala sekolah, statusnya berubah menjadi atasan. Para siswa terasa jauh walaupun tetap masih mengajar di kelas, apalagi tidak mengajar sama sekali, kemudian teman-teman jadi segan kepadanya.
Lama kelamaan ia menjadi target kritik dari guru-guru lain yang mungkin merasa tidak kompeten atau terlalu otoriter dalam memimpin yang pada akhirnya menjadi bahan ghibah di belakang. Setiap keputusan, mulai dari jadwal piket hingga pengadaan seragam baru, akan selalu dicurigai. Hal itu, lumrah, dan memang sering terjadi walaupun sudah bekerja dengan maksimal. Guru enggan menukarkan kenyamanan hubungan sosial sebagai sesama pendidik, dengan beban psikologis sebagai pemimpin yang harus selalu benar di mata bawahan.
Jabatan Kepala Sekolah Jadi Expire Dalam Jangka Waktu Tertentu.
Regulasi yang ada membatasi masa jabatan kepala sekolah selama dua periode. Jumlah satu periode bergantung kebijakan di lembaga. Ini bukan hanya masalah batasan waktu, tapi juga motivasi jangka panjang. Adanya batasan periode menciptakan ketidakpastian karier. Kita Harus menanggung risiko politik dan beban birokrasi selama beberapa tahun, namun tidak mendapat jaminan posisi permanen.
Posisi yang kejepit.
Kepala sekolah berada di posisi apit yang menyakitkan, ditekan dari atas (Dinas Pendidikan dan kebijakan mendadak) dan dituntut dari bawah seperti majelis guru, orang tua siswa, dan siswa.
Jika sekolah berprestasi, kepala sekolah hanya mendapat kredit secuil. Tapi jika sekolah gagal, ia yang pertama kali disalahkan berbagai pihak. Hal tersulit dari posisi terjepit ini adalah mematuhi kebijakan dari atas, sembari memenuhi tuntutan dari bawah.
Beban tanggung jawab kepala sekolah adalah asimetris (tidak seimbang). Risiko kegagalan jauh lebih besar daripada imbalan keberhasilan. Daripada sakit kepala permanen akibat terhimpit dari segala penjuru, guru justru lebih memilih kembali ke kelas untuk mengajar.
Dekat dengan dunia politik.
Mau tidak mau, siap tidak siap, suka tidak suka menjadi kepala sekolah berarti harus sering-sering berinteraksi dengan dunia politik lokal, entah itu dengan anggota dewan perwakilan rakyat daerah, pejabat dinas, atau bahkan tim sukses tertentu.
Sekolah sebagai institusi publik, seringkali dijadikan arena kepentingan. Kepala sekolah dituntut pandai bermanuver, melobi, dan menjaga hubungan baik dengan pihak-pihak yang punya kekuasaan dan dana.
Namun Guru-guru yang idealis dan hanya ingin fokus pada pendidikan, akan merasa tidak nyaman dengan tuntutan politis itu. Mereka tidak mau prinsip seorang pendidik dikotori oleh transaksi kepentingan di luar gerbang sekolah. Mereka menolak menukarkan idealismenya dengan pragmatisme politik. Mereka tidak mau sekolah menjadi kapal politik musiman, di mana kepala sekolah harus menjadi nakhoda yang pandai membaca arah angin politik, bukan hanya arah angin pendidikan. Sebagai institusi pendidikan tentu hal ini tidak sejalan, apakah itu lembaga negeri maupun swasta.
Pada akhirnya, penolakan ini merupakan sinyal bahwa sistem perlu berbenah. Menjadi kepala sekolah seharusnya menguatkan fungsi pendidikan, bukan meleburkan energi guru ke dalam drama birokrasi, politik, hingga ketidakpastian karier.
Guru sejati tahu bahwa lebih baik menjadi inspirasi di ruang kelas daripada menjadi administrator ulung yang terisolasi, sakit kepala, dan dibatasi ruang geraknya.
Walaupun demikian, ini hanyalah sebuah realita yang terjadi di berbagai sekolah yang memang gurunya tergolong realistis dan idealis. Sebenarnya masih banyak sekolah yang gurunya bersedia menjadi kepala sekolah, entah itu kemauannya sendiri ataupun perintah dari atasannya. Yang jelas tugas sebagai kepala sekolah adalah pilihan seorang guru di dalam struktural organisasi sekolah. Siapa yang siap jadi kepala sekolah ?

No comments